Dalam kontkes inilah, semangat liberasi (pembebasan) dan independensi (kemandirian) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII menjadi sebuah rujukan yang cukup signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (negara-militer-partai), maupun otoritas soial (agama, pendidik,) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehdupan demi melanjutkan amanat kemanusiaan, sesuai dengan mandat yang diperoleh dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP).
Sejalan dengan semangat liberasi dan independensi di atas itulah, PMII juga harus berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni negara, idiologi, pasar dan agama harus dihadapi dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan kekuasaan.
Pada perbincangan tadi, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat pergerakan untuk perlawanan. Dasar pergerakan ini akan menjadi lebih tajam, sebagai sebuah kerangka jawaban bagi persoalan kemasyarakatan apabila kita jeli dalam melihat persoalan yang mengemuka, baik pada level pembacaan situasi global (sit-glob), situasi nasional (sit-nas) maupun situsasi lokal (sit-lok). Maka perbincangan kita akan kita dekatkan dengan pembacaan atas “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada di dalamnya, yang akhirnya nanti bisa kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.
Pembacaaan atas Situasi Penindasan dan Situasi Kemasyarakatan.
Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak akan bisa dilepaskan dari sebuah era yang dikenal dengan era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Ilmuwan yang mengkaitakan globalisasi dengan situasi penindasan adalah Deepak Nyyar (1998) yang mengatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua, Pertama, fase imperilisme Inggris yang terjadi pada range 1870 – 1913 yang memakai payung idiologi kapitalisme klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith “leizzis faire” (pasar yang sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan negara). Kemudian fase kedua, adalah dekade 70-80an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat yang mendorongkan semangat yang hampir sama dengan fase sebelumnya di bawah idiologi neo-liberalisme. Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001) mengatakan bahwa di dalam globalisasi yang menjadi slogan Barat, sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam arti yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas dunia ketiga.
Dengan berpijak pada tiga doktrin, yakni Librealisasi (kebebasan dalam arti ekonomik), deregulasi (tidak peraturan negara yang mengatur arus lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat) dan privatisasi (BUMN harus dijual pada swasta/pemodal), neoliberaslisme berjalan melewati setiap negara yang sudah tidak berdaya karena lilitan hutang Luar Negri (HLN) . Dengan tekanan HLN, inilah para negara donor-kapitalis (Uni Eropa, USA dan Jepang) membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi negara dunia ketiga untuk meliberalisasi kehidupan ekonominya. Lembaga seperti International MOnetary Fund (IMF), Paris Club, CGI dan WTO menjadi sangat efektif dalam melakukan kerja-kerja imperialisme dengan baju globalisasi. Setelah penghambat (peraturan Bea dan Cukai dll) bagi perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan, perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki negara kapitalis yang sering disebut dengan Trans-National Corporation (TNC) dan Multi-National Corporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negri pertiwi. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan disedot habis oleh para investor asing, dan akhirnya kita jadi terasing di negri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di negri sendiri dengan upah yang sangat rendah.
Dalam relasi penindasan yang demikian, masyarakat kita sebagian besar tersituasikan pada posisi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjuual gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi dari luar. Hal yang sama kita jumpai pada komoditas gula, buah-buahan dan barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu negara sudah tidak berdaya lagi karena tekanan dari Lembaga Donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat. Kenaikan BBM, Listrik dan telephon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi pembayaran hutang. Demikian juga kenaikan biaya pendidikan juga bisa dilihat dari perspektif ini. UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari gelagat negara yang ingin melepas tanggungjawabnya atas subsidi pendidikan, sehingga membuka peluang terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Persoalan bertambah runyam ketika fondasi perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang semakin kehilanga lapangan pekerjaan
Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus globalisasi, kita malah secara politik masih sibuk dengan pertarungan kepentingan kelompok-kelompk elit yang sebagin besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik di level eksekutif, Legislatif maupun partai yang kadang di antaranya melibatkan kekuatan militer, akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang terpecah belah. Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan, sebagai imbas dari amburadulnya budaya politik di level negara. Di sisi budaya kita sedang digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin Barat dan bisa meniru mereka pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya. Kita tidak sadar sedang didorong untuk menjadi orang konsumeris untuk menjadi pelanggan dari pasar yang dibuka oleh orang barat. Watak ini dalam sejarah bangsa kita sering diosebut dengan watak inlander. (Gus Iim ; 2001).
Dampak lain dari globalisai, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang akhirnya mealhirkan gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Islam adalah agama yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11 September (black tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot semakin meyakinkan asumsi bahwa fundamentalisme agama sebagai sebuah resistensi terhadap globalisasi yang sangat West-biased (bias Barat); atau bisa dikatakan fundemantalisme pasar sedang berhadapan dengan fundamentalisme keagamaan (Islam). Walaupun gerakan fundamentalisme Islam melawan kekuatan kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar sosial-keagamaannya, pemahaman tekstual (skripturalistik) terhadap ajaran dan doktrin agama sangatlah kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual menjadi semakin sempit, dan ajaran ahirnya dipahami sebagai sesuatu yang sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam kesadaran tafsir mereka. Sehingga gerakan fundamentalis ISlam cenderung gampang mengkafirkan dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat dengannya dan menggolongkannya sbagai “the other”.
Dari sekian pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat sebuah strategi perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus dibuat. Untuk ini, perlu melihat tulisan Eman Hermawan (2001) yang membagi masyarakat dalam 3 lokus, yaitu : Civil Society (masyarakat sipil : Ormas, LSM, Ger-ma, kelompok2 masyarakat lain), Political Society (Masyarakat POlitik : negara, partai politik) dan Economical Society (masyarakat ekonomi : Pengusaha Pribumi, Investor, Spekulan, MNC/TNC). Dalam kerangka 3 lokus masyarakat inilah strategi dan taktik gerakan PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka liberasi dan independensi, dengan mendorongkan Free Market of Ideas (FMI) dan menggunakan paradigma yang kritis dan transformatif.
Lokus Masyarakat Strategi Gerakan
Civil Society Konteks Kesadaran
Kritis – transformatif
Pluralisme dan berwawasan kebangsaan
Sadar akan bahaya budaya konsumerisme
kearifan lokalitas dan tradisi
Mengikis budaya patrairkhi yang menyebabkan ketimpangan gender
KOnteks Gerakan
membuat kantong-kantong kritis dengan diskusi kerakyatan
live in dalam kerangka advokasi dan pendampingan
membuat ruang-ruang perekonomian rakyat
memperkuat bargaining politik terhadap masy. politik
kesenian dan budaya sebagai perlawanan
aksi massa dalam rangka injeksi kesadaran massa rakyat dan mendesakkan perubahan kebijakan publik
masyarakat politik negara
penguatan posisi negara terhadap tekanan pasar dan negara kapitalis dengan regulasi
penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN
kemampuan negara untuk mengolah ruang publik menjadi lebih terbuka dan transparan
Penguatan sektor ekonomi untuk tenaga kerja
legislatif yang peka dan aspiratif
Par-pol
menolak elitisme par-pol
membuat ruang bargaining politik dengan parpol
menolak partai yang erselingkuh dengan modal
menolak penggunaan aset negara untuk kepentinga partai tertentu
masyarakat ekonomi pengusaha dan pemodal pribumi yang berpihak pada rakyat
menciptakan pasar yang berkeadilan dengan tetap ada peraturan bersama (governance)/ doktrin ekonomi keynesian
membiarkan serikat buruh berdiri sebagai kontrol dan dialektika
Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis. Antono Gramsci (1956) membagi 3 wilayah taktik gerakan atau perang (war), yakni : war of position (perang posisi), war of opinion (perang opini) dan war of movement (perang gerakan). ketiga wilayah pergerakan ini menjadi landasan awal untuk membingkai stratak gerakan PMII saat ini.
Konteks pergerakan, minimal dari pelajaran Gramsci di atas, haruslah memenuhi 3 ruang, yaitu ruang penegasan jati diri organ atau posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang dialektika pwemikiran dan gagasan sebagai dasar rasionalitas atas posisi yang dipilih dan ruang praksis yang menjadi indikator perubahan dengan sebuah dorongan konkret baik di level massa kader, maupun massa rakyat.
secara jelas derivasi taktik dari masing-masing ruang dijelaskan dalam bagan sebagai berikut :
War Of Position War of Opinion War of movement
A. Nilai dasar Pergerakan
B. Aswaja
C. Paradigma Kritis Transformatif
D. Liberasi, Independensi dan Empowering
E. Tradisionalisme-kritis A. Konteks Gagasan
- tentang masyarakat
- tentang pasar
- tentang negara
B. Konteks Manajemen Issu
- basis media
- basis intelektual kader
- basis massa (diseminasi gagasan di level masyarakat A. Kaderisasi
- formal
- non-formal
(kantong-kantong kader : diskusi, jalanan, organisasi, kesenian dll)
- informal
B. Pengorganisiran
- level kampus (antropologi kampus)
- level organ gerakan
- level basis massa rakyat
C. Desakan ke otoritas
- kebijakan publik
- kuasa sosial-ekonomi
- kuasa agama
Bagaimanapun gerakan harus dipraksiskan. Seandainya basis massa belum diraih, maka tidak ada alasn untuk diam. Aksi massa harus segencar mungkin dilancarkan untuk mendorongkan semangat perubahan, sekaligus menjadi momentum untuk memberi injeksi kesadaran bagi massa rakyat. Yang harus diperhatiakan dalam aksi massa adalah perangkat aksi dan perkap aksi :
A. Perangkat Aksi / Panitia Aksi
Lunak : Issu dan tujuan dari aksi massa
Keras, meliputi kapanitiaan lapangan :
1. Kordinator Umum (kordum) sebagai penanggungjawb aksi dan pembaca statemen atau pernyataan sikap
2. Kordinator lapangan (korlap) yang mengatur jalannya masa aksi
3. Tim materi yang membuat pernyataan sikap, selebaran dan press release
4. Negosiator untuk melobi aparat, atau segala hal yang ditemui di lapangan
5. Kurir untuk melihat kondisi di depan, belakang dan samping barisan.
6. Keamanan / sekurity : 1. Ring dalam untuk mengatur masa aksi. 2. ring luar untuk menjaga massa dari serangan dari luar
7. Logistik atau konsumsi
8. Tim Evakuasi yang akan menentukan titik evakuasi kalau ada seranga, dan siap dengan kerja evakuasi atau pengamanan
9. Tim advokasi untuk mengantisipasi persoalan sampai tingkat persidangan, dengan menghubungi LBH-LBH terdekat
10. Happening Art
B. Perlatan dan perlengkapan (perkap) aksi
1. Megaphone atau pengeras suara
2. Spanduk
3. Poster
4. Bendera organ
5. Tali Rafia (garis demokrasi/revolusi)
6. tanda pengenal atau slayer untuk identitas massa aksi
7. Selebaran, pernyataan sikap dan press release
8. konsumsi
9. transport dan HP/HT untuk kurir dan keamanan
Share This :
0 komentar:
Posting Komentar