Satu bulan yang lalu saya googling tentang bid’ah. Yang muncul di halaman pertama adalah kajian-kajian pengharaman bid’ah: kullu bidatin dlolalah. Mereka mengamini satu pernyataan Ibnu Umar: semua bid’ah adalah sesat. Termasuk penjelasan yang muncul dalam Wikipedia yang secara langsung mengharamkan bid’ah. Ini meresahkan, karena ternyata dakwah kita melalui tulisan dalam memanfaatkan teknologi masih terbatas.
Sah-sah saja sebetulnya khilafiyah (perbedaan) dalam islam berkembang. Akan tetapi kita tidak bisa membenarkan melihat agressiffitas Islam Transnasional melakukan berbagai cara propaganda, mempengaruhi bahkan menyerang dan menggerogoti sendi-sendi ke-Islaman kelompok lain yang telah terbangun harmonis dengan adigium “musyrik, sesat, bahkan kafir! Propaganda (baca: hasutan) “kau musyrik, kau kafir, laknatulloh” lebih menonjolkan “kewajiban” kita memilih sikap permusuhan dengan sesama muslim, apalagi kepada non muslim. Ambil saja contoh: “Jangan gunakan sistem dari orang kafir! Jangan ambil bahasa dari orang kafir! Semua itu bidah!” dan lain sebagainya. Hal kontradkitif dari metode dakwah pada kita yang lebih menonjolkan pentingnya Islam untuk berproses menjadi insan ulul albab (cita-cita kader PMII), akhlakul karimah, membina persaudaraan, mementingkan sikap toleransi dan kebhinekaan (sebagaimana dalam manhaj al fikr ahlussunnah waljamaah).
Semangat mereka untuk “menyatukan” Islam dalam definisi tunggal sungguh luar biasa. Bahkan kini mereka lebih berani lagi dengan menjelekkan dan mengkafirkan saudara muslim kita. Jika kita sibuk berdakwah agar semakin banyak umat Islam dengan perilaku akhlakul karimahnya, mereka justru sibuk membuat “kafir” orang-orang yang sudah muslim.
Padahal di Amerikapun (yang mereka sebut Negara kafir) toleransi beragama juga diperjuangkan oleh banyak kalangan, berbagai kelompok agamawan, berbagai NGO dan tokoh agama untuk mempengaruhi keputusan ekskutif yang berlangsung. Ambil contoh lagi (kalau masih kurang contoh-contohnya, silakan tulsi sendiri) rencana pembakaran Al Qur’an pda tanggal 11 September 2010 di depan umum taman kota Amarillo, AMerika Serikta. Tetapi hal itu justru dihalangi oleh anggota gereja “Unitariant Universalist Fellowship” dalam kamapanye telepon dan aksi massa, juga melalui halaman facebook dengan judul terjemahan “Jangan Sampai AL Qur’an Dibakar di Taman Amrillo”[1].
Inilah yang saya sebut berlebihan, termasuk tentang pemahaman bid’ah[2]. Jika kita mampu secara kolektif, ingin rasanya mengundang para alim dan ustadz aswaja untuk mendirikan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) tandingan yang telah mulai mereka kuasai agar manhaj al fikr ahlussunnah waljamaah bisa tersampaikan, agar Islam kembali dalam aktualisasi Rohmatan lil alamin. Andai-andai itu sepertinya buka tanggungjawab kita saat ini, mengingat masih banyak hal yang harus kita benahi dulu berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan organisasi di PMII Komisariat UMM. Akan tetapi masih terbentang harapan, semoga kader PMII UMM selanjutnya lebih siap menghadapi dan memperbarui pola gerkanya sehingga mampu mengambil tugas berat seperti ini nanti. Amiin.
Salah satu pembahasan penting untuk membumikan Islam PMII itu dalah pembasahan tentang bid’ah. Tulisan ini saya buat sambil belajar dengan penuh hati-hati, agar dapat tersampaikan dan akhirnya menjadi proses pembelajaran kita semua.
Belajar Menjelaskan Tentang Bid’ah
Bid’ah bukan hukum. Bid’ah pengertian sederhanaya adalah lawan sunnah (sunnah dalam pengertian apa-apa yang telah dilakukan rosul). Sunnah adalah apa yang dilakukan dan menjadi manhaj nabi. Sementara bid’ah adalah perkara-perkara baru yang tidak terjadi atau tidak dilakukan oleh Nabi.
Kanjeng nabi telah wafat dan perjalanan hidup terus berkembang. Berbagai kultur dan etnis, bahasa dan budaya juga telah mendapat sentuhan ajaran dan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu keberadaan bid’ah sering muncul dan tentu tidak serta merta dapat kita sebutkan haram. Sebaliknya, bid’ah harus kita proyeksikan keberadaannya dalam berbagai metode penggalian hukum agar kita dapat menentukan jawaban, apakah bid’ah tersebut pantas dihukumi apa dalam Islam[3].
Dalam Islam kita mengenal hukum ada lima: Wajib (harus dilakukan dan mendapat pahala, meninggalkannya mendapat dosa), sunnah (diminta untuk dilakukan agar dapat pahala, ditinggalkan tidak berdosa), Jaiz/mubah (boleh dilakukan atau tidak), makruh (sebaiknya tidak dilakukan, meninggalkannya dapat pahala) dan haram (harus ditinggalkan).
Oleh karena itu muncul istilah bid’ah hasanah, atau bid’ah yang baik. Imam Syafi’I menyebut sebagai Thoriqtun fiddin muhktaro’ah (jalan agama yang diciptakan). Imam syafii menyebutkan tentang apa yang dilakukan Umar dalam mempraktekkan sholat tarawih berjamaah 20 rakaat bersama di masjid dan pemushafan AL Qur’an sebagai bid’ah. Artinya jelas bahwa tidak semua bid’ah adalah sesat.
Al Qur’an yang kit abaca setiap hari pada saat ini juga jauh berbeda dengan AL Qur’an pada zaman rasul. Pada saat itu Al Qur;an ditulis dalam lembar-lembar oleh para sahabat, dan baru dibukukan pada saat pemerintahan sahabat Umar. Dari jasa beliau ini kita melihat mushaf AL Qur’an Utuh dalam satu buku.
Sistem berdemokrasi juga coba diterapkan oleh sahabat Ali. Akan tetapi justru beliau dianggap telah keluar dari ajaran Islam, bahkan sampai wafat terbunuh oleh tangan Ibn Muljam, sosok hafidz yang tekun beribadah yang selalu menyampaikan La hukma illalloh. Tidak ada hukum selain hukum Allah. Apakah mereka lupa, bahwa sahabat Ali adalah bagian dari sosok muslin pertama di dunia, atau yang bisa kita sebut assabiqunal awwalu. Akan tetapi mengapa Ibn Muljam berani mengkafirkannya?
Klaim tentang kafir, laknatulloh, surga hanya milik mereka, dan berbagai atribut menghasut bukanlah cermin dari akhlakuk karimah. Tidak cukup itu, kini juga kita sering meilhat bagaimana mereka “menyerang” kita dalam berbagai celah tradisi. Muaranya satu: penguasaan umat dan menghadirkan khilafah Islamiyah.
Saya bukan mujtahid yang mampu menggali hukum Islam secara integral. Jangankan hadist, ayat Al Qur’anpun saya butuh penjelas. Oleh karena itu saya lebih mudah belajar dengan para imam yang membangun madzhab. Mereka menguasai ribuan hadist, jauh lebih layak menggali hukum daripada mereka-mereka yang suka mengkafirkan orang lain. Paling-paling mereka masih hafal ratusan, bahkan kurang, sebagaimana perilaku sholat kita yang disesuaikan dengan syarat sah dan rukunnya yang dipedomankan para imam Madzhab.
Contoh mudah taqlid saya adalah terkait sholat itu. Nabi bersabda “sholatlah seperti aku sholat”. Rasululloh tidak menuliskan tentang ibadah sholat secara terperinci. Padahal pada saat bersmaan kita tidak pernah melihat secara langsung sholat nabi. Yang bisa kita lakukan adalah mencontoh ustadz dan imam kita. Bukankah ini taqlid, sesuatu yang disebut bagian dari bid’ah oleh mereka dan dihukumi sesat?
Gerak Politik Tendensius Berlabel Agama
Kita semua tahu, bahwa politik selalu identik dengan perpecahan. Ada kekuasaan yang diburu bersama. Ada prestise dan berbagai kekuatan untuk menggerakkan umat (baca: rakyat) dengan mudah melalui pengaruh dan kekuatan kekuasaan.
Kekuasaan pula yang menggerakkan berbagai negara di seluruh dunia mau melakukan segala cara untuk menjaga kekuatan dan pengaruhnya. Malaysia sebagai negara Islam (walaupun belum sampai pada khilafah) telah memberangus banyak poerbedaan pendapat, memenjarakan kebenaran di luar garis yang dibangun atas anama kekuasaan. Untuk menggenggam dan dapat membenarkan itu semua, satu-satunya jalur yang dapat ditempuh adalah politik.
Sejarah Islam memberikan banyak pelajaran kepada kita, bahwa perpecahan umat Islam mencapai puncaknya saat perebutan jalur politik kekuasaan. Muncul kelompok Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Khawarij, Jabariyah dan lain sebagainya. Bibit perpecahan ini tumbuh dari dikotomi effect yang muncul: ada barisan yang kecewa, ada barisan yang menepuk dada.
Saya tidak berlebihan. Masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar, sebagaimana yang ditulis juga oleh Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan: wa azhamu khilafin bayna al-ummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi al-Islam ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala al-immah fi kulli zaman (Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman[4]).
Tidak mengherankan di negara-negara Timur Tengah kelompok khilafiyah ini makin tidak laku. Sebab tidak ada samakali jaminan Khilafah Islamiyah akan menyatukan umat Islam, apalagi untuk cita-cita toleransi, saling mengharagi perbedaan pendapat dan keyakinan. Akan tetapi justru sebaliknya.
Terlepas dari kontroversi intervensi negara amanapun, Mesir telah merubah diri dari kediktatoran Husni Mubarok. Negara-negara Arabian lain juga enggan menerapkan konsepsi khilafah yang lebih mempunyai potensi memecah belah. Lantas mengapa malah nyasar ke Indonesia?
Menghidupkan Kultur Islam Indonesia
Tema ini diangkat dalam PKD XIX PMII UMM: “Reaktualisasi Organisasi Berbasis Ideologi”. Jika dalam MAPABA kita membedah Islam Ahlussunnah waljamaah dalam kerangka Manhaj al Fikr (metodologi berfikir), maka dalam PKD kita mengupasnya sebagai Manhaj al harakah (metodologi gerakan). Bagaimana pola gerak Ahlussunnah walajamaah ini dalam praksiologi organisasi?
Banyak sahabat. Kultur dan berbagai tardisi yang terbangun di tengah-tengah sosial kemasyarakatan kita telah menciptakan harmonika hidup yang damai. Ada pertemuan-pertemuan bercanda dalam kegaiatan tahlilan rutin, diba’iyah pada saat maulid, peringatan berbagai hari besar agama, ziarah kubur atau ziarah wali sembilan, dan lain sebagainya. Sebagian besar tradisi yang menguatkan psikologi sosial masyarakat kita dari pengaruh modernitas tersebut adalah bid’ah hasanah. Tidak ada hukum dalam sumber Islam manapun yang mengharamkan dzikir dan mengingat nabi dan tokoh panutannya.
Pada aspek intelektual, kajian keislaman sudah selayaknya kita beri ruang untuk para mahasiswa yang berminat pada kajian keagamaan. Banyak sekali para mubtadiien (mahasiswa) kampus UMM yang kering dan membutuhkan mata air yang menyegarkan spiritualitas mereka. Sanggupkah PMII UMM juga menyediakan ruang pengajian mahasiswa rutin dalam program kerjanya?
Kenyataannya sampai sekarang kita masih jauh dari harapan sahabat. Atau jangan-jangan spiritualitas internal kita juga tidak kalah gersang dibanding mereka yang haus belajar agama dan mendapatkan tempatnya di kelompok Islam Trans-nasional? Apakah ini juga effect dari bekunya Rayon PAI di PMII komisariat UMM, dan mungkin sebentar lagi Psikologi?
Semoga pembacaan sederhana dan parsial ini memberi ruang kesadaran kita untuk melangkah secara sadar proses kaderisasi, memilih startegi yang tepat, istiqomah dan pada akhirnya membuka ruang penyegaran di tubuh PMII UMM ke depan. Amin.
[1] lihat beritanya di youtube: http://www.youtube.com/watch?v=-7qZMtY3XV0&feature=related
[2] Dalam Islam, sikap berlebihan dalam hal apapun tidak diperbolehkan, termnasuk dalam ibadah dan beragma (ghulluwe). Sebagaimana yang dikatakan ibnu faris rahimahullah didalam kitabnya “Mu’jam maqayis Lughah” berlebih-lebihan didalam agama dilakukan dengan praktek melakukan sesuatu yang melampaui batas dengan kekerasan dan kekakuan, sebagaimana disebutkan oleh Al Jauhari rahimahullah di dalam kitabnya “Ash Shihah” demikian juga disebutkan oleh Ibnu Mandur rahimahullah dalam kitabnya “Lisanul Arab” dan juga Azzubaidi rahimahullah dalam kitabnya ”Taajul ‘Arus”.
[3] Untuk mendapatkan kajian ini dalam bentuk ceramah dari Sheikh Nurudin al-Marbu al-Banjari, Kalimantan, dapat diakses di Youtube http://www.youtube.com/watch?v=ft_lPw-gRXg&noredirect=1
[4] Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Syahrastani (t.th.), Al-Milal Wa Al-Nihal, j.1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), hal.13.
Share This :
0 komentar:
Posting Komentar