Sebagai organ pengkaderan, kita terus berupaya mencari konsep pengkaderan terbaik di PMII, baik dalam prespektif lokal (locus at campus) maupun cabang hingga nasional. Untuk itu kita butuh membaca berbagai kondisi objektif saat ini, melakukan otokritik dan adaptasi.
Untuk
menata ruang konsep kaderisasi tersebut, sebetulnya kita butuh
dealektika panjang proses kesejarahan dan perumusan cita dan penyamaan
visi. Untuk menguatkan pentingnya menata ruang konsep kaderisasi yang
dapat dipahami bersama itu saya mengutip apa yang pernah disampaikan
K.H. Hasyim Asy’ari[1];
“Siapa
yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit
dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman, serta apa saja yang
terjadi pada mereka hingga pada saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa
kekayaan yang pernah mereka sandang dan kemuliaan yang pernah menjadi
hiasan mereka, tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka
pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah
setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seiring”
Begitupun saat kita melihat historis Komisariat PMII
UMM. Terbayang oleh kita komisariat pernah mengalami kebesarannya,
membangun rayon demi rayon hingga mencapai lima rayon. Bukankah ini
sejarah yang butuh waktu untuk kita pahami, bagaimana para alumni dulu
membangunnya?
Untuk itu saya berpendapat bagaimana pentingnya menyatukan serpihan pikiran untuk menyamakan persepsi, visi dan cita PMII dalam locus
UMM. Salah satu bagian penting itu sudah dimulai oleh Sahabat Falikhin
yang menulis tentang kaderisasi. Sahabat Falikhin meringkas kebutuhan
kader dalam lima refleksi atas kebutuhan kader organisasi saat ini yang disingkat dengan ALAMO (Akademis, Leader, Administratif, Mobilisator Massa dan Organisatoris).
Tulisan tersebut meringkas kebutuhan PMII sebagai organisasi terhadap
dinamika kehidupan kadernya. Inilah ekspektasi pengkaderan sahabat
Falikhin terhadap PMII UMM.
Dalam buku Multi Level Strategi Gerakan PMII menyebutkan ada lima argument mengapa harus ada pengkaderan. Pertama sebagai pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), kedua pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), ketiga memperbanyak anggota (argumnetasi praktis), keempat persaingan antar kelompok (argumentasi pragmatis) da yang kelima sebagai mandate organisasi (argumnetasi administrative)[2].
Secara filosofis, pengkaderan PMII hendak mencipta manusia merdeka (independent)[3].
Sementara proses pengkaderan itu menuju pada satu titik, yakni mencipta
manusia Ulul Albab. Pengertian sederhananya adalah manusia yang peka
terhadap kenyataan, mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, giat
membaca tanda-tanda alam yang kesemuanya dilakukan dalam rangka
berdzikir kepada Allah SWT, berfikir dari berbagai peristiwa alam,
sejarah masyarakat, serta firman-firman-Nya. Pengertian Ulul Albab ini
disarikan dalam motto dizkir, fikr, amal sholeh[4].
Sayapun
tertarik menulis terkait pengkaderan, sebuah perbincangan yang tidak
pernah lekang oleh zaman. Sejak PMII didirikan pada tahun 1960, proses
kaderisasi selalu sejalan dengan dinamika kemahasiswaan yang telah
mengalami banyak perubahan. Era pra-1998 (baca: pra reformasi) misalnya
mensyaratkan gerakan dalam strategi
gerakan eksparlementer. Setelah itu, muncul banyak gagasan, pro dan
kontra, masihkah kita tetap menggunakan strategi pada gerakan jalanan,
atau kembali ke kampus.
Strategi praksiologis pengkaderan
dengan optimalisasi gerakan eksparlementer mensuguhkan progresifitas,
militansi dan radikalisasi massa yang tinggi. Strategi ini melahirkan
kader-kader yang tangguh dalam mental dan kemampuan melakukan mobilisasi
massa, mendengungkan propaganda perlawanan dan membangkitkan semangat
aksi turun jalan. Tirani kekuasaan sangat absolut, mencengkram semua
sektor kehidupan. Satu-satunya jalan: turun jalan!
Sebaliknya, gerakan kembali ke kampus menyuguhkan strategi
kaderisasi yang berbeda. Penguasaan materi fakultatif dengan disiplin
ilmu sesuai dengan jurusannya menuntut kedisiplinan yang tidak kalah
sulit. Apalagi proses sehari-hari mahasiswa akademis fakultatif rawan
menyuguhkan dramatologi kontradiktif: terlalu asyik mengejar nilai
akademis dan melupakan tanggungjawabnya sebagai agent of change dan agent of control. Tanpa
disadari aktifitas akademis tersebut membuat kita lupa diri bahwa
keilmuan kita sangat ditunggu rakyat keseluruhan dalam mewujudkan
tatanan kehidupan berkeadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang
merata.
Tidak
mudah memang menempa diri dalam kualitas akademis dengan menjaga
semangat progressifitas terhadap kehidupan organisasi. Tuntutan demikian
mengacu pada dinamika kehidupan nasional kita disuguhkan pada usaha
percepatan kemajuan semua sektor, bukan hanya politik (baca: demokrasi).
Jika PMII hanya berkutat pada kaderisasi aktor politik, lantas dimana
tanggungjawab pengembangan IPTEK, Kedokteran, Perencanaan Pembangunan
dan berbagai kajian keilmuan pada proses pengabdian dan percepatan
kesejahteraan sosial rakyat yang merata?
PMII
mempunyai tanggungjawab yang belum terjawab terkait kaderisasi dalam
ranah profesionalitas ini. Strategi kaderisasi yang masih tunggal dan
general pada politik kampus menjadi oto kritik kita. PMII masih terasa
sulit beraktualisasi diri dalam organ-organ profesional seperti kelompok
akuntan, para tehnokrat, enterpreneur, para tenaga sosial medis, dan
lain sebagaimya.
Karena
itu semestinya memang semua aplikasi keilmuan akademis kita diarahkan
pada pemenuhan tanggunjawab sosial. Kader PMII tida hanya disiapkan
sebagai calon pemimpin dalam ranah politik dan kekuasaan, tetapi juga
mampu mengaktualkan manfaat sebesar-besarnya atas keilmuan akademisnya
pada kepentingan rakyat. Sejauh ini kajian tentang tanggungjawab
mahasiswa pertanian, mahasiswa psikologi atau mahasiswa teknik dan sains
(misalnya) pada proses kesejahteraan rakyat masih jarang dibahas.
Menarik Minat Mahasiswa Lain
Sebagaimana
yang ditulis juga oleh sahabat Falikhin, keberadaan aktor akademis
fakultatif mampu menjadi daya tarik tersendiri di hadapan
mahasiswa-mahasiswa lain. Gambaran ini benar adanya, dengan saya
tambahkan catatan: syaratnya mereka mampu melakukan kinerja intelektual organik[5].
Mereka
cerdas dalam akademis fakultatif tidak semata untuk isi otaknya
sendiri. Aktor ini menarik jika secara aktif pula melakukan kinerja intelektual organik akademis,
membangun kelompok belajar atau diskusi, menjadi mitra dosen pada
proses pembelajaran, dan tetap mempunyai kepercayaan diri dengan berani
“membusungkan dada” ke-PMII-an. Tetap kritis namun juga bisa melakukan
perilaku kooperatif. Istilah ini yang kemudian dikenal di PMII dengan
sebutan kritis transformatif. Bukankah ini paradigma gerakan kita[6]?
Keberadaan
mahasiswa akademis fakultatif ini juga menjadi salah satu jawaban dari
banyaknya penolakan umum mahasiswa yang anti terhadap gerakan aksi turun
jalan. Jika gerakan ekstraparlementer ini banyak ditolak oleh mahasiswa
secara konseptual, mengapa kita tidak mencari alternatif gerakan yang
juga tidak kalah mulianya? Bukankah belajar dengan kesungguhan, berbagi
ilmu dan membangun tradisi pengetahuan adalah sunnah rosul,
dimana gusti kanjeng nabi kita juga aktif melakukan kerja-kerja
penggalian khazanah keilmuan hingga melahirkan adigium zaman pendobrak jahiliah menuju tatanan yang Islami?
Tentu
saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PMII selama ini tidak
melakukan kegiatan transformasi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan.
Tidak dapat dipugkiri lagi bahwa PMII telah memberikan segudang
transformasi knowladge yang
menyadarkan kita pada eksistensi manusia di tengah kehidupan sosial
dengan aneka ragam pengalaman organisatoris yang tiada tara nilainya.
PMII telah mendidik kita pada pembentukan karakter kader yang militan,
pantang menyerah, konsisten dan bertanggungjawab. Akan tetapi point yang
ingin saya suguhkan adalah penguatan membangun tradisi pengetahuan ini
dalam sebuah strategi strategi kaderisasi di PMII, khususnya PMII UMM.
Apalagi
memang kita tidak berhak memaksakan penguasaan keilmuan kader hanya
semata dibungkus pada wilayah politik. Tema ini mungkin linier dengan
sahabat-sahabat PMII yang studi di FISIP. Lantas apakah tema ini juga
menarik di mata mahasiswa fakultas lain, seperti Teknik, Ekonomi, PAI,
FKIP, lebih-lebih fakultas Kesehatan dan Kedokteran? Bukankah lebih baik
mereka mendapatkan “tempat yang benar” di wilayah profesionalitas
mereka, tanpa mengurangi kesempatan sedikitpun pada keseluruhan kader
PMII untuk mencari pengetahuan dan pengalaman di wilayah sosial dan
politik yang sudah pasti terjadi di organisasi kita?
Jika
saya petakan pada keberadaan rayon-rayon yang ada di PMII UMM, maka
pada dasarnya kita semua telah berusaha mengidentifikasi masing-masing
rayon pada kebutuhan fakultatifnya. Di rayon Teknik misalnya banyak
kader baru dilibat aktifkan pada kegiatan di laboratorium IT. Pemberian
amanat, peran dan posisi yang sejalan dengan keilmuan fakultatif terse
but sangat membantu kader kita untuk mengakses pengetahuan akademis
sekaligus informasi kampus, berinteraksi dengan mahasiswa dan membangun
kemitraan dengan dosen.
Begitupun pada rayon FISIP. Keilmuan yang dekat dengan Humaniora Prespectif
mensyaratkan kader FISIP untuk mampu memahami peta ideology dan kajian
filsafat dalam berbagai kehidupan social lintas zaman dari berbagai
belahan dunia. Rkill yang harus dimiliki adalah keberanian untuk
menyampaikan pendapat dan atau menulis, atau melakukan aksi-aksi
pengabdian masyarakat dengan keahlian inteletual organic yang dimiliki.
Rayon
Ekonomi juga berbeda. Sebagai kaum professional yang lebih paham pada
berbagai persoalan ekonomi dan concept of nation development, maka
proyeksi kesejahteraan rakyat, kemandirian ekonomi bangsa, dan berbagai
ide kreatif keluar dari kemiskinan dengan memanfaatkan peta persaingan
global menjadi menarik diperbincangkan.
Begitupun rayon FKIP. Teringat oleh saya SMS dari mas Yuda, bukankah maju mundurnya suatu bangsa berangkat dari tonggak kualitas pendidikan kita?
Sebagai calon pendidik, tentu mereka harus memperkaya diri dengan
jutaan literature konsepsi pendidikan, andragogi maupun pedagogi,
menguasai teknik fasilitasi, kaya akan inovasi, dan peka akan kebutuhan
anak-anak bangsa pada zamannya.
Bayangkan
jika lima tahun lagi system pembayaran telah dilakukan dengan system
otomasi, bukankah ini akan menggusur ribuan akuntan yang tidak paham
dengan kemajuan teknologi yang ada pada zaman itu? Ini hanya permisalan
yang saya buat, mengukur kualitas pendidikan kita saat ini dengan
percepatan kemajuan teknologi yang terus berjalan. Di sisi lain, seperti
yang dipropaganadakan Paolo Ferreira, pendidikan juga dituntut tetap
dalam kerangka ideologis yang mempunyai nilai membebaskan manusia, bukan
malah membodohkan. Sebuah tantangan tersendiri yang tidak mudah, bukan?
Kelebihan-kelebihan
kaderisasi yang berjalan massif pada kerangka fakultatif ini memang
penting, sama pentingnya dengan ideologisasi organisasi PMII dalam
kerangka Ahlussunah waljamaah, pemahaman pada paradigm gerakan kritis
transformative, maupun aktualisasi kembali Nilai-Nilai Dasar Pergerakan
dalam kehidupan sehari. Jika kelebihan-kelebihan ini mampu kita
formulasikan, bukankan PMII sangat menarik untuk diikuti oleh mahasiswa
di kampus putih megah seperti istana ini?
Membangun Karakter, Tidak Semata Tergantung Leader
Bangga
dan menyenangkan akhir-akhir ini ada sosok sahabat yang aktif menulis,
melakukan propaganda aktif kepada sahabat-sahabati yang lain.
Semangatnya luar biasa, setidaknya menurut saya pribadi. Pengaruhnyapun
juga massif. Tidak terbayangkan sebelumnya bagaimana website PMII UMM
mampu update rutin hamper tiap pekan, bahkan kadang setiap hari.
Saat berdiskusi dengan cabang maupun komisariat-komisariat lain, dengan bangga saya propagandakan website PMII UMM.
Saya katakan, bahwa semangat sahabat-sahabati PMII UMM menulis bukan
tumbuh karena intruksi komisariat. Seluruh sahabat-sahabati PMII UMM
memang punya semangat yang luar biasa untuk menulis. Stimulus yang
tumbuh dan berkembang secara massif karena hadirnya sosok-sosok yang
aktif, galau, resah dan tidak terima atas realitas sosial yang sedang
terjadi. Ini adalah tradisi pengetahuan yang berlangsung di PMII UMM.
Bukti bahwa PMII UMM masih memegang kuat tradisinya yang aktif di ranah
kajian dan jurnalitik.
Sementara
di sisi lain kita sering menjumpai sebuah organisasi yang sangat
tergantung dengan karakter leadernya. Meskipun pengaruh leader tidak
dapat kita nafikan sebagai bagian dari visi misi yang dibawa. Akan tetapi karakter sosiologis, tardisi pengetahuan dan prilaku organisasi sebetulnya dapat kita bentuk secara mandiri.
Saya
membuat analogi, bahwa organisasi adalah benda mati, dan yang
menghidupkan dinamika di dalamnya tentu aktor-aktor organisasinya. Akan
tetapi juga harus kita catat, bahwa organisasi bernama PMII ini juga
eksis, berdiri dan hidup dengan karakter tersendiri. Saat semua aktor
organisasi sedang tertidur pulas, bendera PMII tetap tegak berdiri dan
dikenal dengan karakter organisatornya, tradisi pengetahuan yang
dibangun dan prilaku organisasinya. PMII UMM tetap hidup bahkan di saat
kita semua telah tiada.
Karakter
tersebut yang meski kita temukan, khususnya lewat rayonisasi yang sudah
dikumandangkan dalam berbagai kegiatan kaderisasi. Semangat
berdealektika dalam ruang fakultatif ini dapat menjadi identifikasi
masing-masing rayon yang membangun karakternya sendiri, secara sadar dan
sepenuh hati. Akumulasinya akan terwujud dalam karakter organisatoris
tentang PMII UMM.
Ruang-ruang dealektis, tradisi pengetahuan dan prilaku organisasi yang dibangun menjadi strategi
pembentukan karakter personal. Terlepas siapa yang memimpin, semangat
aktualisasi itu tetap tumbuh. Pembentukan karakter ini juga menggugat
adigium selama ini yang telah bergeser, dimana seolah ruang pendidikan
hanya di ruang kelas, atau hanya dalam forum tertentu, atau juga saat
ada sajian materi perkuliahan dengan menghadirkan dosen atau narasumber,
atau batas-batas formalitas lain. Ada ruang-ruang pendidikan baru yang
tumbuh di rutinitas sehari-hari kita dalam ranah akademis maupun
organisatoris.
Terakhir,
tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa bangga dan hormat pada
proses kaderisasi yang telah dilakukan oleh seluruh sahabat-sahabati.
Kita semua tahu bahwa kader-kader PMII UMM yang ada saat ini khususnya
proses pembelajaran selama lima tahun terakhir telah dilakukan dengan
pengerahan sumber daya, tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kita
telah melakukan kerja sebaik mungkin.
Namun begitu, pembacaan startegi menjadi modal reaktualisasi organisatoris yang berkesadaran (being/insan)
terlepas apakah kita akan sanggup melakukan proses salah satu strategi
kaderisasi di atas dengan melihat keseluruhan aktor organisasi yang ada
di PMII UMM sekarang. Tulisan ini bagi saya tetap penting untuk
disampaikan, khususnya karena PMII UMM mendapat undangan Rapat
Koordinasi Nasional (RAKORNAS) di Jakarta pada tanggal 14-17 Pebruari
2012 yang juga akan banyak membedah tentang strategi kaderisasi PMII.
[1] Dalam buku “Multi Level Strategi Gerakan PMII” halaman v, PB. PMII 2006
[2] Ibid. hal. 32
[3] Ibid, baca “Profil Kader PMII, Orietasi dan Filosofi”, hal. 34
[4] Ibid, baca Profil Kader Ulul Albab, hal. 34
[5] ISTILAH
intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang
mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas
terjadinya gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran
intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya,
lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu
kewajiban yang mutlak. Istilah intelektual organic ini diperkenalkan
oleh Antonio Gramschi
[6] Nalar
gerak PMII secara teoretik mulai dibangun secara sistematis pada masa
kepengurusan sahabat muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor
(Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang popular dalam
istilah Sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut
prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas
strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Kerangka inidapat dibaca dalam buku “”Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”, November 1997.
Share This :
0 komentar:
Posting Komentar